MENGEJAR KOMPETENSI PERGURUAN TINGGI SWASTA

MENGEJAR KOMPETENSI PERGURUAN TINGGI SWASTA DALAM TANTANGAN MASA DEPAN MELALUI KURIKULUM BERDASARKAN KOMPETENSI

STUDI KASUS KABUPATEN SUMBAWA

Oleh. Andi Haris

 

Masa depan ditandai oleh banjir informasi dan perubahan yang serba cepat dikarenakan masyarakat dunia terekspos oleh revolusi dibidang ilmu, teknologi dan seni, serta arus globalisasi, sehingga menuntut kesiapan semua pihak untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada atau yang akan terjadi. Artinya, kita harus mampu menghadapi masyarakat yang sangat kompleks dan global.

Menurut Veithzal Rivai & Sylviana Murni, mengatakan bahwa sejumlah masalah yang dihadapi saat ini dan tantangan masa depan dapat berupa: (1) faktor-faktor eksternal, seperti globalisasi, perkembangan ekonomi nasional, desentralisasi, politik, sosial budaya, dan teknologi; (2) faktor-faktor internal, seperti dampak manajemen yang sentralistik, mekanisme pendanaan oleh pemerintah, manajemen dan organisasi, sumber daya manusia, penelitian di perguruan tinggi, serta peran orang tua dalam pendanaan pendidikan.

Bila mengacu pada tantangan yang di hadapi di atas, maka perguruan tinggi swasta Kabupaten Sumbawa harus mengalami pembaruan dengan tujuan peningkatan mutu pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan dan pembelajaran kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kompetensi menurut Hall & Jones (1976) dalam Veithzal Rivai & Sylviana Murni (2010) adalah pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur.

Kompetensi (kemampuan) lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia. Untuk itu, pendidikan berdasarkan kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mampu berkompetensi ditingkat global. Implikasi pendidikan berdasarkan kompetensi ini adalah pengembangan silabus dan sistem penilaian berdasarkan kompetensi. Paradigma pendidikan berdasarkan kompetensi mencakup kurikulum, pembelajaran, dan penilaian-yang menekankan pada pencapaian hasil belajar sesuai dengan standar kompetensi.

Kurikulum berisi bahan ajar yang diberikan kepada pembelajar melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran yang mencakup pemilihan materi, strategi, media, penilaian, dan sumber atau bahan pembelajaran. Ini yang tidak diperhatikan oleh pihak perguruan tinggi swasta di Kabupaten Sumbawa. Untuk kurikulum saja, masih terdapat kekurangan yang harus dibenahi dalam peningkatan mutu, baik peningkatan mutu perguruan tinggi swasta itu sendiri maupun peningkatan mutu dari pembelajar. Sehingga bisa kita lihat, tingkat keberhasilan belajar yang dicapai oleh pembelajar di akhir program pembelajaran. Apalagi dalam mengevaluasi pembelajar, pebelajar cenderung hanya menggunakan tes pilihan ganda dan tes uraian. Menurut penulis, sekali-kali pebelajar menggunakan penilaian dengan portofolio, ikhtisar beberapa bahan ajar yang relevansi dengan matakuliah masing-masing, atau mencari referensi lewat jurnal/artikel. Ini akan memberikan kepada kita sebagai pebelajar akan mengetahui secara langsung tingkat keefektifan mereka untuk mencapai tingkat kompetensi yang diinginkan.

Untuk pengembangan kurikulum, kita sepakat memaknai sebagai suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh pembelajar melalui suatu pengalaman belajar. Pengalaman belajar dimaksudkan sebagai pengalaman belajar pembelajar seperti yang direncanakan dalam dokumen tertulis. Pengelaman belajar pembelajar yang dikembangkan oleh pebelajar melalui Satuan Ajar Pembelajaran (SAP). Pengalaman ini akan memberikan dampak langsung terhadap hasil belajar pembelajar.

Ada enam dimensi pengembangan kurikulum untuk pendidikan tinggi swasta, yaitu (1) pengembangan ide dasar untuk kurikulum, (2) pengembangan program, (3) rencana perkuliahan/satuan pembelajaran, (4) pengalaman belajar, (5) penilaian, dan (6) hasil. Keenam dimensi pengembangan kurikulum dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu (a) perencanaan kurikulum, (b) implementasi kurikulum, dan (c) evaluasi kurikulum. Untuk evaluasi kurikulum kita sebagai pebelajar atau apapun sebutannya dalam penyelenggara pembelajaran tidak pernah mengadakan atau mengevaluasi kurikulum kita setelah selesai program pembelajaran. Kita tidak tahu sejauh mana tingkat perkembangan yang kita lakukan dalam satu semester atau dalam satu tahun. Apakah (1) menghentikan program; karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan; (2) merevisi program; karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi sedikit); dan (3) melanjutkan program; karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.

Kurikulum pendidikan tinggi berdasarkan SK Mendiknas No. 232 tahun 2002, mengemukakan struktur kurikulum berdasarkan tujuan belajar, yaitu (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to live together, dan (4) learning to be. Berdasarkan pemikiran tentang tujuan belajar tersebut, maka matakuliah dalam kurikulum perguruan tinggi dibagi atas lima kelompok, yaitu (1) Matakuliah Pengembangan Kepribadian ( MPK), (2) Matakuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK), (3) Matakuliah Keahlian Berkarya (MKB), (4) Matakuliah Prilaku Berkarya (MPB), dan (5) Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). 

Kurikulum pendidikan tinggi berdasarkan SK Mendiknas No. 045/U/2002, mengemukakan kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.

Kurikulum berdasarkan kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide, akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan pendekatan dan kompetensi dalam menjawab tantangan yang muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berdasarkan kompetensi, maka pengembang kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan, serta jangkauan validitas pendekatan tersebut di masa depan. Harus diingat bahwa kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.

Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama bersifat: (a) dasar untuk mencapai kompetensi lulusan, (b) acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi, (c) berlaku secara nasional dan internasional, (d) lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di masa mendatang, dan (e) kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi, masyarakat profesi, dan pengguna lulusan. Sedangkan kurikulum institusional berisikan kompetensi lain yang bersifat khusus dan sesuai dengan kompetensi utama.

Dengan kurikulum berdasarkan kompetensi, maka sistem penilaian hasil belajar haruslah berubah. Ciri utama perubahan penilaiannya adalah terletak pada pelaksanaan penilaian yang berkelanjutan serta komprehensif, yang mencakup aspek-aspek berikut; (1) penilaian hasil belajar, (2) penilaian proses belajarmengajar, (3) penialain kompetensi mengajar pebelajar, (4) penilaian relevansi kurikulum, (5) penilaian daya dukung sarana, dan fasilitas, (6) penilaian program (akreditasi).

Sementara strategi yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) mengartikulasikan standar dan desain penilaian di lingkungan pendidikan tinggi, (2) mengembangkan kemampuan dosen (pebelajar) untuk melakukan dan memanfaatkan proses pembelajaran, (3) mengembangkan kemampuan subjek didik (pembelajar) untuk memanfaatkan hasil penilaian dalam meningkatkan efektivitas belajar mereka, dan (4) memantau dan menilai dampak jangka panjang terhadap proses dan hasil belajar. Perubahan yang mendasar juga terjadi pada kriteria lulus dan tidak lulus (menguasai kompetensi atau tidak). Dalam konteks ini tidak setiap kompetensi memiliki rentangan 0-4 atau E, D, C, B, dan A, melainkan pendekatan penilaian yang bersifat mastery (mastery based evaluator) untuk menggantikan pendekatan skala yang digunakan pada saat ini.

Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan dengan baik sejumlah pihak perlu terlibat secara inten dan memberikan perannya masing-masing sesuai dengan kapasitasnya, antara lain sebagai berikut: (a) visi dan misi kelembagaan dan kepemimpinan yang berorientasi kualitas dan akuntabilitas serta peka terhadap dinamika pasar, (b) partisipasi seluruh sivitas akademika (dosen, mahasiswa) dalam bentuk shared vision dan mutual commitment untuk optimasi kegiatan pembelajaran, (c) iklim dan kultur yang kondusif untuk proses pengembangan yang berkesinambungan, dan (d) keterlibatan kelompok masyarakat pemrakasa (stakeholders) serta masyarakat pengguna lulusan itu sendiri.  

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Metode dan Pendekatan Pendidikan Multikultural

Metode dan Pendekatan Pendidikan Multikultural

Sebagai sebuah konsep yang harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum, biasanya pendidikan multikultural secara umum digunakan metode dan pendekatan (method and approaches) yang beragam. Adapun metode yang dapat digunakan dalam pendidikan multikultural adalah sebagai berikut:

  1. Metode Kontribusi

Dalam penerapan metode ini pembelajar diajak berpartisipasi dalam memahami dan mengapresiasi kultur lain. Metode ini antara lain dengan menyertakan pembelajar memilih buku bacaan bersama, melakukan aktivitas bersama. Mengapresiasikan even-even bidang keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Pebelajar bisa melibatkan pembelajar didalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan dengan peristiwa ini. Namun perhatian yang sedikit juga diberikan kepada kelompok-kelompok etnik baik sebelum dan sesudah event atau signifikan budaya dan sejarah peristiwa bisa dieksplorasi secara mendalam.

Namun metode ini memiliki banyak keterbatasan karena bersifat individual dan perayaan terlihat sebagai sebuah tambahan yang kenyataannya tidak penting pada wilayah subjek inti.

2. Metode Pengayaan

Materi pendidikan, konsep, tema dan perspektif bisa ditambahkan dalam kurikulum tanpa harus mengubah struktur aslinya. Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur dari atau tentang masyarakat yang berbeda kultur atau agamanya. Penerapan metode ini, misalnya adalah dengan mengajak pembelajar untuk menilai atau menguji dan kemudian mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi pembelajar tidak mengubah pemahamannya tentang hal itu, seperti pernikahan, dan lain-lain.

Metode ini juga menghadapi problem sama halnya metode kontributif, yakni materi yang dikaji biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang mainstream. Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang dominan.

3. Metode Transformatif

Metode ini secara fundamental berbeda dengan dua metode sebelumnya. Metode ini memungkinkan pembelajar melihat konsep-konsep dari sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Metode ini memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka referensi dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman pembelajar tentang sebuah ide.

Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan pembelajar untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik dan agama tertentu. Misalnya, membahas konsep “makanan halal” dari agama atau kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Metodeini menuntut pembelajar mengolah pemikiran kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan sebagai premis dasarnya.

4. Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial

Metode ini mengintegrasikan metode transformasi dengan aktivitas nyata dimasyarakat, yang pada gilirannya bisa merangsang terjadinya perubahan sosial. Pembelajar tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu.

Metode ini memerlukan pembelajar tidak hanya mengeksplorasi dan memahami dinamika ketertindasan tetapi juga berkomitmen untuk membuat keputusan dan mengubah sistem melalui aksi sosial. Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan pembelajar berpikir dan kemampuan mengambil keputusan untuk memberdayakan mereka dan membantu mereka mendaptkan sense kesadaran dan kemujaraban berpolitik.

Pendekatan-pendekatan yang mungkin bisa dilakukan di dalam pendidikan kultural adalah sebagai berikut:

  1. Pendekatan Historis

Pendekatan ini mengandaikan bahwa materi yang diajarkan kepada pembelajar dengan menengok kembali ke belakang. Maksudnya agar pebelajar dan pembelajar mempunyai kerangka berpikir yang komplit sampai ke belakang untuk kemudian mereflesikan untuk masa sekarang atau mendatang. Dengan demikian materi yang diajarkan bisa ditinjau secara kritis dan dinamis.

2. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini mengandaikan terjadinya proses kontekstualisasi atas apa yang pernah terjadi di masa sebelumnya atau datangnya di masa lampau.  Dengan pendekatan ini  materi yang diajarkan bisa menjadi aktual, bukan karena dibuat-buat tetapi karena senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi, dan tidak bersifat indoktrinisasi karena kerangka berpikir yang dibangun adalah kerangka berpikir kekinian. Pendekatan ini bisa digabungkan dengan metode kedua, yakni metode pengayaan.

3. Pendekatan Kultural

Pendekatan ini menitikberatkan kepada otentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan ini pembelajar bisa melihat mana tradisi yang otentik dan mana yang tidak. Secara otolatis pebelajar juga bisa mengetahui mana tradisi arab dan mana tradisi yang datang dari islam.

4. Pendekatan Psikologis

Pedekatan ini berusaha memperhatikan situasi psikologis perseorangan secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing pembelajar harus dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya. Pendekatan ini menuntut seorang pebelajar harus cerdas dan pandai melihat kecenderungan pembelajar sehingga ia bisa mengetahui metode-metode mana saja yang cocok untuk pembelajar.

5. Pendekatan Estetik

Pendekatan estetik pada dasarnya mengajarkan pembelajar untuk berlaku sopan dan santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Sebab segala materi kalau hanya didekati secara doktrinal dan menekan adanya otoritas-otoritas kebenaran maka pembelajar akan cenderung bersikap kasar. Sehingga mereka memerlukan pendekatan ini untuk mengapresiasikan segala gejala yang terjadi di masyarakat dengan melihatnya sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang bernilai seni dan estetis.

6. Pendekatan Berprespektif Gender

Pendekatan ini mecoba memberikan  penyadaran kepada pembelajar untuk tidak membedakan jenis kelamin karena sebenarnya jenis kelamin bukanlah hal yang menghalangi seseorang untuk mencapai kesuksesan. Dengan pendekatan ini, segala bentuk konstruksi sosial yang ada di sekolah yang menyatakan bahwa perempuan berada di bawah laki-laki bisa dihilangkan.

Keenam pendekatan ini sangat memungkinkan bagi terciptanya kesadaran multikultural di dalam pendidikan dan kebudayaan. Dan tentu saja, tidak menutup kemungkinan berbagai pendekatan yang lainnya, selain enam yang disebutkan tadi di atas, sangat mungkin untuk diterapkan.

Reference

Allison Cumming, McCann. 2003. Multicultural Education Connecting Theory to Practice, Volume 6, Issue B Pebruary, NCSAAl.

Suparta, Mundzier. 2008. Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi Atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Al-Ghazali Center. Jakarta.

Zuly, Qadir. 2001. Pendidikan Islam Transformatif: Upaya Menyingkap Dimensi Pluralis dalam Pendidikan Akidah-Akhlak. Dalam jurnal Tashwirul Afkar, edisi No. 11, hal 38-42.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Desain sistem pembelajaran konstruktivistik

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di awal abad ke-21 ini, paradigma pembelajaran mulai mengalami pergeseran. Peristiwa belajar yang selama ini didasarkan pada konsep stimulus-respon mulai berganti menjadi pendekatan yang lebih manusiawi. Suatu pendekatan yang lebih menekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk pembagun ilmu pengetahuan. Hal ini dikenal sebagai pendekatan behavioristik dalam pembelajaran.

Paradigma pembelajaran yang dianut saat ini, dengan kata lain, mulai mengalami pergeseran dari penggunaan pendekatan behavioristik menjadi pendekatan konstruktivistik dalam penyelenggaraan aktivitas pemebalajara. Pendekatan behavioristik merupakan pendekatan yang mapan karena telah lama digunakan. Saat ini, para pendidik mulai mencari pendekatan alternatif sebagai bentuk pendekatan lain dari pendekatan behavioristik.

Pendekatan teori belajar behavioristik menganggap bahwa prilaku yang dapat diukur dan diamati merupakan hasil belajar individu. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan mengenai belajar berdasarkan pendekatan teori belajar konstruktivistik. Pendekatan ini menekankan pada perlunya proses mental seseorang dilibatkan secara aktif dalam menempuh proses belajar dan membangun pengetahuan.

Perubahan paradigma ini tidak dapat dihindari sekaligus juga mempengaruhi bidang desain sistem pembelajaran. Ada sejumlah alasan rasional yang mendasari implementasi pendekatan konstruktivistik dalam aktivitas pembelajaran. Duffy dan Cunningham, dalam Jonassen (2003), mengemukakan beberapa alasan rasional yang melatarbelakangi penggunaan pendekatan konstruktivistik dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai berikut: (1) semua pengetahuan dan hasil belajar merupakan proses konstruksi individu, (2) pengetahuan merupakan konstruksi peristiwa yang dialami dari berbagai sudut pandang atau perspektif, (3) proses belajar harus berlangsung dalam konteks yang relevan, (4) belajar dapat terjadi melalui media pembelajaran, (5) belajar merupakan dialog sosial yang bersifat inheren, (6) siswa yang belajar memiliki ragam latar belakang yang multidimensional, dan (7) memahami pengetahuan yang dipelajari merupakan pencapaian utama manusia.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang tersebut, penulis tertarik dalam mengungkapkan seperti apa pendekatan konstruktivistik, komponen-komponen apa saja yang terdapat dalam model tersebut, dan bagaimana model desain sistem pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik?.

C. Tujuan Penulis

Adapun tujuan penulis, yakni ingin memberikan gambaran tentang pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran, komponen-komponen yang ada di dalamnya, dan model desain sistem pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan konstruktivistik

Anita Woolfolk (2005) mengemukakan definisi pendekatan konstruktivistik sebagai “…pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa dalam membangun pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang dialami.” (p. 323). Definisi lain yang dikemukakan oleh Gagnon dan Collay (2001) bahwa ”…pendekatan konstruktivistik merujuk kepada asumsi bahwa manusia mengembangkan dirinya dengan cara melibatkan diri baik dalam kegiatan secara personal maupun social dalam membangun ilmu pengetahuan.” (p 10).

Belajar dalam pandangan ahli konstruktivis terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu. Berdasarkan pandangan ini, tugas seorang guru atau instruktur adalah menciptakan lingkungan belajar yang sering disebut sebagai “scenario of problem” yang mencerminkan adanya pengalaman belajar yang otentik atau nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang sesungguhnya.

Konstruktivisme memiliki keterkaitan yang erat dengan metode pembelajaran penemuan (discovery learning), dan konsep belajar bermakna (meaningful learning). Kedua metode belajar ini berada dalam konteks teori belajar kognitif.

Peristiwa belajar akan berlangsung lebih efektif jika siswa berhubungan dengan objek yang sedang dipelajari dan ada di lingkungan sekitar. McCown, Driscoll, dan Roop dalam Cruicshank dkk. (2006) mengemukakan bahwa siswa belajar dan membangun pengetahuan mereka manakala berupaya untuk memahami lingkungan yang ada disekitar mereka. Siswa bersentuhan langsung dengan objek atau peristiwa yang sedang dipelajari akan memberikan kemungkinan untuk membangun pemahaman yang baik tentang objek atau peristiwa.

Belajar merupakan pemaknaan terhadap peristiwa atau pengalaman yang dialami oleh individu. Siswa membangun pengetahuan baru melalui peristiwa yang dialami setiap saat. Pemberian makna terhadap pengetahuan diperoleh melalui akumulasi makna terhadap peristiwa yang dialami. Duffy dan Cunningham dalam Jonassen (2001) mengemukakan dua hal yang menjadi esensi dari pandangan konstruktivistik dalam aktivitas pembelajaran, yakni: (1) belajar lebih diartikan sebagai proses aktif membangun daripada sekedar proses memperoleh pengetahuan, (2) pembelajaran merupakan proses yang mendukung proses pembangunan pengetahuan daripada hanya sekedar mengkomunikasikan pengetahuan.

Gagnon dan Collay dalam Cruickshank dkk (2006) berpendapat bahwa siswa belajar dan membangun pengetahuan manakala dia terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Contoh aktivitas pembelajaran yang menandai siswa melakukan konstruksi pengetahuan terdiri atas beberapa bentuk kegiatan, yaitu: (1) merumuskan pertanyaan secara kolaboratif, (2) menjelaskan fenomena yang dilihat, (3) berpikir kritis tentang isu-isu yang bersifat kompleks, dan (4) mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

B. Komponen-komponen pendekatan konstruktivistik

Konstruksi pengetahuan merupakan proses berpikir dan menafsirkan tentang suatu peristiwa yang dialami. Oleh karenanya pengetahuan yang dimiliki oleh individu merupakan pengetahuan yang bersifat unik pula. Proses belajar dalam diri individu dapat dikatakan telah terjadi apabila pengetahuan yang dimiliki dapat digunakan untuk menafsirkan pengalaman baru secara utuh, lengkap, dan lebih baik daripada sebelumnya. Siswa perlu mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru merupakan hal yang prinsip untuk membangun ilmu pengetahuan.

Tujuan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran adalah agar siswa memiliki kemampuan dalam menemukan, memahami, dan menggunakan informasi atau pengetahuan yang telah dipelajari. Implementasi pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran perlu memperhatikan beberapa hal komponen penting sebagai berikut: (1) belajar aktif (active learning), (2) siswa terlibat dalam aktivitas pembelajaran yang bersifat otentik dan situasional, (3) aktivitas belajar harus menarik dan menantang, (4) siswa harus mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah dimiliki sebelumnya dalam sebauh proses yang disebut “bridging”, (5) siswa harus mampu merefleksikan pengetahuan yang sedang dipelajari, (6) guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yang dapat membantu siswa dalam melakukan konstruksi pengetahuan, (7) guru harus dapat memberikan bantuan scaffolding yang diperlukan oleh siswa dalam menempuh proses belajar.

Pendekatan konstruktivistik menghendaki peran guru yang berbeda dengan yang selama ini berlangsung. Guru tidak lagi berperan sebagai orang yang menyiapkan diri untuk melakukan presentasi pengetahuan di depan kelas, tetapi merancang dan menciptakan pengalaman-pengalaman belajar (learning experiences) yang dapat membantu siswa memberi makna terhadap konsep-konsep dan ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari. Guru perlu melatih siswa agar mampu mengaitkan, membuat rasional, dan memaknai konsep-konsep yang dipelajari.

Agar kegiatan pembelajaran yang dilandasi oleh pendekatan konstruktivistik dapat memberikan hasil yang optimal, ada beberapa factor yang perlu mendapat perhatian. Newby dkk. (2000) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran yaitu sebagai berikut: (1) berikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan belajar dalam konteks nyata. Belajar terjadi manakala siswa menerapkan pengetahuan yang dipelajari dalam mengatasi suatu permasalahan, (2) ciptakan aktivitas belajar kelompok. Belajar merupakan sebuah proses yang berlangsung melalui interaksi social antara guru dan siswa dalam menggali dan mengaplikasikan kombinasi pengetahuan yang telah mereka miliki, (3) ciptakan model dan arahkan siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan. Guru dan siswa bekerja bersama untuk mencari solusi terhadap suatu permasalahan.

C. Desain system pembelajaran konstruktivistik

Gagnon dan Collay (2001) mengemukakan sebuah desain system pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik, yakni:

  1. Situasi

Komponen ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran. Selain itu, dalam komponen situasi juga tergambar tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh siswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui.

2. Pengelompokkan

Komponen pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran yang berbasis pendekatan konstruktivistik member kesempatan pada siswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat. Pengelompokkan sangat bergantung pada situasi atau pengalaman belajar yang ingin dilalui oleh siswa. Pengelompokkan dapat dilakukan secara acak (random) atau didasarkan pada criteria tertentu (purposive).

3. Pengaitan

Komponen pengaitan dilakukan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa dengan pengetahuan yang baru. Bentuk-bentuk pengaitan sangat bervariasi, misalnya melalui pemecahan masalah atau melalui diskusi topic-topik yang spesifik.

4. Pertanyaan

Pengajuan pertanyaan merupakan hal penting dalam aktivitas pembelajaran. Pertanyaan akan memunculkan gagasan asli yang merupakan inti dari pendekatan pembelajaran konstruktivistik. Dengan munculnya gagasan-gagasan yang bersifat orisinil, siswa dapat membangun pengetahuan di dalam dirinya.

5. Eksibisi

Komponen dalam eksibisi dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik member kesempatan kepada siswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti suatu pengalaman belajar.

6. Refleksi

Komponen ini pada dasarnya member kesempatan kepada guru dan siswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kolektif. Refleksi juga member kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki.

BAB III

PENUTUP

Perubahan memang terjadi dengan sangat cepat dan gerakannya tidak linier, terjadi lompotan-lompotan yang sangat sulit diramalkan. Dalam dunia pendidikan, umpamanya, terjadi perubahan mendasar dalam hal orientasi teoritik kegiatan dan keputusan pendidikan, yaitu dari behavioristik ke konstruktivistik. Teori behavioristik sangat percaya pada kekuatan lingkungan untuk mengkondisikan prilaku manusia, sedangkan teori konstruktivistik, sebaliknya, ia meyakini bahwa individu mempunyai kekuatan untuk mengubah dirinya.

Berkaitan dengan hal tersebut, berbagai pendekatan yang dilakukan oleh guru dalam menciptakan lingkungan belajar yang mencerminkan adanya pengalaman belajar yang otentik atau nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang sesungguhnya. Siswa belajar membangun pengetahuan manakala dia terlibat aktif dalam kegiatan belajar, dimana siswa mampu merumuskan pertanyaan secara kolaboratif, mampu menjelaskan fenomena yang dilihat, mampu berpikir kritis dan mampu mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

Kemudian untuk mewujudkan pendekatan kostruktivistik ini dalam kegiatan pembelajaran, maka guru harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan belajar dalam konteks nyata, menciptakan aktivitas belajar kelompok, dan menciptakan model dan arahkan siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan yang sedang dipelajari.

Begitu juga dalam desain system pembelajaran konstruktivistik perlu memasukkan komponen-komponen pembelajaran yang menjadi prinsip pendekatan konstruktivis seperti; situasi, pengelompokkan, pengaitan, pertanyaan, eksibisi dan refleksi.

DAFTAR PUSTAKA

Benny A.P. (2009). Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: PT. Dian Rakyat

Cruickshank, D.R.et.al. (2006). The Act of Teaching. New York: McGraw Hill Inc

Degeng. Nyoman. S. Teori Pembelajaran 2: Terapan. Program Magister Manajemen Pendidikan Universitas Terbuka. Malang

Gagnon, G.W. dan Collay, M. (2001). Designing for Learning: six Elements in Constructivist Classroom. California: Corwin Pres Inc

Molenda, M. Technology, Hard & Soft for Acess in Quality and Quantity in Education. (2005). A Paper presented in the International Seminar on Instructional Technology. Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

RENUNGAN KITA BERSAMA DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN KEBUDAYAAN

Keunggulan negara Eropa pada umumnya sekitar abad ± XVII dan XIX di bidang industri dan teknologi khususnya pada sistem pendidikan negara kebangsaan dan kebudayaan,bahkan berkembang sampai sekarang. Istimewa negara adidaya merupakan fenomena bagaimana peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang melahirkan industri-ekonomi, dan suprimasi sosial politik di penghujung abad XX membuktikan bagaimana nilai dan fungsi suatu sistem pendidikan nasional telah mengembangkan sumber daya manusia (SDM) unggulan. Sesungghnya, latar belakang dan motivasi dan supremasi politik atau hegemoni antar negara modern adalah pengembangan politik ideologi yang merebut atau keunggulan konsepsional dan ideal sebagai kompensasi dari politik dominasi kolonialisme-imperialisme yang secara formal direbut oleh bangsa terjajah; yakni dalam bentuk pascamodern ialah hegemoni ipteks, industri, ekonomi, yang pada hakikatnya dijadikan media propaganda bahwa prestasi hegemoni itu berkat keunggulan sumber dan landasan filosofisnya, yakni nilai-nilai filsafat dan ideologi yang dipraktekkan dalam wawasan pemikiran, pendidikan dan teori pengembangan ilmu pengetahuan.

Sementara Indonesia baru membebaskan diri dari jajahan bangsa eropa sekitar abad XX yaitu pada tahun 1945. Perjalanan bangsa Indonesia dalam 64 tahun mengalami peningkatan yang kecil sekali. Kondisi bangsa dan negara RI makin memprihatinkan ketika krisis moneter berlanjut dengan krisis politik sehingga diupayakan reformasi total yang dipelopori mahasiswa dan masyarakat terdidik. Harapan kita, Reformasi sebagai awal langkah pembaruan mendasar, strategis dan menyeluruh belum menampakkan langkah maju. Namun, kita juga maklum dapat dievaluasi karena gerakan ini baru memasuki pintu gerbang…sementara tujuan masih nampak jauh dicakrawala wawasan dan harapan kita semua. Kiranya, hikmah menatap sejarah suatu bangsa dapat menjadi guru yang mendidik bangsa kita untuk sanggup menapaki tantangan reformasi dengan tetap menegakkan bangsa yang terpercaya; bagaimanapun sejarah nasional kita membuktikan bahwa pancasila dan konstitusi negara kita (UUD1945) menjamin integritas NKRI.

Semoga dengan renungan untuk mengembangkan potensi nasional dalam rangka memasuki abad XXI, millinium III yang ditandai dengan dinamika liberalisasi, sebagai era pascamodern, bahkan supra-modern, manakala kebijaksanaan dan strategi negara tetap konvensional, kita pun tetap menjadi bangsa konsumen dan mengharapkan bantuan negara donor dunia.

Memperhatikan fenomena sosial, budaya, ekonomi dalam pascamodernisasi menjadikan kita semua makin sungguh-sungguh untuk merenungkan apa dan bagaimana kewajiban dan amanat kependidikan yang telah, sedang dan akan kita laksanakan sebagai keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Kewajiban dan amanat itu dipercayakan oleh masyarakat, negara, budaya bahkan moral (peradaban) kepada keluarga, dan guru (pelaksana amanat pemerintah, kultural, dan moral) dalam membina kepribadian manusia generasi muda sesuai cita-cita nasional. Mengingat moral ini menekankan pembinaan kepribadian manusia sebagai super value, (Boedenhimar 1962:143) yakni subyek budaya dan subyek moral (MNS 2000: 188). Sungguh-sungguh sebagai amanat moral personal maupun nasional berdasarkan nilai-nilai bangsa yang berlaku.

Sebagai bangsa dalam masyarakat (internasional) pascamodern namun tetap beradap, sungguh menjadi kewajiban dan amant moral bagi para cendikiawan, lebih-lebih mereka yang mengembankan amanat kependidikan, khususnya SD, SMP, SMA, PTN dan PTS, maka kewajiban untuk makin ikut aktif mulai merenungkan dan memikirkan dunia pendidikan sebagai kelembagaan yang menentukan hari depan rakyat dan negara kita sampai aktif melaksanakannya.

Sebagaimana dimaklumi kelembagaan pengembang sistem pendidikan nasional secara struktural ialah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, melalui berbagai kelembagaan pendidikan dan pendidikan tinggi. Visi dan misi departemen ini secara mendasar adalah integritas pengemban: moral, mental dan ipteks bagi potensi SDM generasi penerus. Tanpa mengecilkan nilai ipteks (30%) kita percaya peranan ipteks, atau ilmu pengetahuan bagi seorang pribadi, sebagaimana juga bagi suatu bangsa. Namun, kita juga tetap percaya bahwa peranan moral dan mental manusia, baik dalam implementasi ipteks maupun dalam pengembangannya adalah nilai kualitatif yang cukup ideal. Jadi, bagaimanapun unggul dan canggihnya ipteks manusia (pribadi, bangsa) tanpa nilai moral dan mental (beradab, sosial, nasional) justru akan menjadi bencana! Artinya, SDM berkualitas adalah integritas nilai-nilai moral, mental, ipteks. Inilah visi-misi pendidikan nasional yang terkandung dalam ungkapan Nation and Character Building.

Berangkat dari latar histori pendidikan yang ada di indonesia tidak terlepas dari dualisme yang terjadi, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama. Pendidikan umum dipegang oleh negara penjajah, yang mana pendidikan ini berorientasi pada perkembangan dunia yang didasarkan pada paradigma kebutuhan industri dan teknologi. Sementara pendidikan agama dipegang oleh kaum ulama yaitu negara terjajah yang orientasi pembelajarannya pada konservatif yang menekankan pada akhlak dan pembentukan karakter islami.

Dari perbedaan ini, lahirlah dualisme kembali ketika indonesia merdeka, dimana pendidikan umum memegang peranan penting di dalam masyarakat baik dari strata masyarakat bawah sampai masyarakat atas. Salah satu kasus yang terjadi di tanah samawa, pendidikan umum mendapat perhatian khusus dalam operasionalnya dibandingkan dengan pendidikan agama dibawah departemen pendidikan agama. Untuk itulah penulis menyadari bahwa pendidikan yang ideal di tanah samawa harus memperhatikan karakteristik wilayah dalam pengembangan kurikulum yang ada di sekolah baik yang sifatnya pendidikan umum maupun pendidikan agama yang bukan hanya penekanan pada proses hasil belajar yang diharapkan pada pebelajar (siswa atau peserta didik) melainkan dampak pengiring yang mampu memecahkan persoalannya ketika dia menghadapi masalah di masyarakat.

Dengan potensi yang ada di tanah samawa dalam sistem pendidikan dan kebudayaan, maka pembelajaran yang digunakan adalah paradigma konstruktivis. Duffy dan Cunningham, dalam Jonassen (2003), mengemukakan beberapa alasan rasional yang melatarbelakangi penggunaan pendekatan konstruktivistik dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai berikut: (1) semua pengetahuan dan hasil belajar merupakan proses konstruksi individu, (2) pengetahuan merupakan konstruksi peristiwa yang dialami dari berbagai sudut pandang atau perspektif, (3) proses belajar harus berlangsung dalam konteks yang relevan, (4) belajar dapat terjadi melalui media pembelajaran, (5) belajar merupakan dialog sosial yang bersifat inheren, (6) siswa yang belajar memiliki ragam latar belakang yang multidimensional, dan (7) memahami pengetahuan yang dipelajari merupakan pencapaian utama manusia.

Gagnon dan Collay dalam Cruickshank dkk (2006) berpendapat bahwa siswa belajar dan membangun pengetahuan manakala dia terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Contoh aktivitas pembelajaran yang menandai siswa melakukan konstruksi pengetahuan terdiri atas beberapa bentuk kegiatan, yaitu: (1) merumuskan pertanyaan secara kolaboratif, (2) menjelaskan fenomena yang dilihat, (3) berpikir kritis tentang isu-isu yang bersifat kompleks, dan (4) mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

Tujuan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran adalah agar siswa memiliki kemampuan dalam menemukan, memahami, dan menggunakan informasi atau pengetahuan yang telah dipelajari. Implementasi pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran perlu memperhatikan beberapa hal komponen penting sebagai berikut: (1) belajar aktif (active learning), (2) siswa terlibat dalam aktivitas pembelajaran yang bersifat otentik dan situasional, (3) aktivitas belajar harus menarik dan menantang, (4) siswa harus mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah dimiliki sebelumnya dalam sebuah proses yang disebut “bridging”, (5) siswa harus mampu merefleksikan pengetahuan yang sedang dipelajari, (6) guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yang dapat membantu siswa dalam melakukan konstruksi pengetahuan, (7) guru harus dapat memberikan bantuan scaffolding yang diperlukan oleh siswa dalam menempuh proses belajar.

Pendekatan konstruktivistik menghendaki peran guru yang berbeda dengan yang selama ini berlangsung. Guru tidak lagi berperan sebagai orang yang menyiapkan diri untuk melakukan presentasi pengetahuan di depan kelas, tetapi merancang dan menciptakan pengalaman-pengalaman belajar (learning experiences) yang dapat membantu siswa memberi makna terhadap konsep-konsep dan ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari. Guru perlu melatih siswa agar mampu mengaitkan, membuat rasional, dan memaknai konsep-konsep yang dipelajari.

Agar kegiatan pembelajaran yang dilandasi oleh pendekatan konstruktivistik dapat memberikan hasil yang optimal, ada beberapa factor yang perlu mendapat perhatian. Newby dkk. (2000) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran yaitu sebagai berikut: (1) berikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan belajar dalam konteks nyata. Belajar terjadi manakala siswa menerapkan pengetahuan yang dipelajari dalam mengatasi suatu permasalahan, (2) ciptakan aktivitas belajar kelompok. Belajar merupakan sebuah proses yang berlangsung melalui interaksi social antara guru dan siswa dalam menggali dan mengaplikasikan kombinasi pengetahuan yang telah mereka miliki, (3) ciptakan model dan arahkan siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan. Guru dan siswa bekerja bersama untuk mencari solusi terhadap suatu permasalahan.

Menurut penulis dalam mendesain sistem pembelajaran dalam menggunakan pembelajaran konstruktivis, yang sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gagnon dan Collay (2001), yakni:

1. Situasi

    Komponen ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran. Selain itu, dalam komponen situasi juga tergambar tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh siswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui.

    2. Pengelompokkan

      Komponen pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran yang berbasis pendekatan konstruktivistik member kesempatan pada siswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat. Pengelompokkan sangat bergantung pada situasi atau pengalaman belajar yang ingin dilalui oleh siswa. Pengelompokkan dapat dilakukan secara acak (random) atau didasarkan pada criteria tertentu (purposive).

      3. Pengaitan

        Komponen pengaitan dilakukan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa dengan pengetahuan yang baru. Bentuk-bentuk pengaitan sangat bervariasi, misalnya melalui pemecahan masalah atau melalui diskusi topic-topik yang spesifik.

        4. Pertanyaan

          Pengajuan pertanyaan merupakan hal penting dalam aktivitas pembelajaran. Pertanyaan akan memunculkan gagasan asli yang merupakan inti dari pendekatan pembelajaran konstruktivistik. Dengan munculnya gagasan-gagasan yang bersifat orisinil, siswa dapat membangun pengetahuan di dalam dirinya.

          5. Eksibisi

            Komponen dalam eksibisi dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik member kesempatan kepada siswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti suatu pengalaman belajar.

            6. Refleksi

              Komponen ini pada dasarnya member kesempatan kepada guru dan siswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kolektif. Refleksi juga member kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki.

              Dari pemaparan di atas, penulis menyadari bahwa pembelajaran dengan paradigma konstruktivis sangatlah cocok diimplimentasikan di tanah samawa yang latar budaya penduduk atau pebelajar (siswa, peserta didik) yang beraneka ragam. Ini merupakan suatu renungan bagi kita semua dalam meningkatkan prestasi belajar pebelajar di samping pebelajar itu memecahkan persoalan di dalam masyarakat sebagai dampak pengiring. Dan ini merupakan tanggung jawab bersama dari steckholder yang ada dalam membangun generasi muda sebagai generasi penerus yang mampu menjawab tantangan perkembangan dunia yang bergerak di bidang industri dan teknologi canggih. Semoga konsep-konsep di atas dapat digunakan oleh para penentu kebijakan di daerah ini, khususnya di tanah samawa pada sektor pendidikan.

              By. Andi haris

              Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang

              Jurusan Teknologi Pembelajaran

              Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

              Hello world!

              Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

              Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar