RENUNGAN KITA BERSAMA DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN KEBUDAYAAN

Keunggulan negara Eropa pada umumnya sekitar abad ± XVII dan XIX di bidang industri dan teknologi khususnya pada sistem pendidikan negara kebangsaan dan kebudayaan,bahkan berkembang sampai sekarang. Istimewa negara adidaya merupakan fenomena bagaimana peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang melahirkan industri-ekonomi, dan suprimasi sosial politik di penghujung abad XX membuktikan bagaimana nilai dan fungsi suatu sistem pendidikan nasional telah mengembangkan sumber daya manusia (SDM) unggulan. Sesungghnya, latar belakang dan motivasi dan supremasi politik atau hegemoni antar negara modern adalah pengembangan politik ideologi yang merebut atau keunggulan konsepsional dan ideal sebagai kompensasi dari politik dominasi kolonialisme-imperialisme yang secara formal direbut oleh bangsa terjajah; yakni dalam bentuk pascamodern ialah hegemoni ipteks, industri, ekonomi, yang pada hakikatnya dijadikan media propaganda bahwa prestasi hegemoni itu berkat keunggulan sumber dan landasan filosofisnya, yakni nilai-nilai filsafat dan ideologi yang dipraktekkan dalam wawasan pemikiran, pendidikan dan teori pengembangan ilmu pengetahuan.

Sementara Indonesia baru membebaskan diri dari jajahan bangsa eropa sekitar abad XX yaitu pada tahun 1945. Perjalanan bangsa Indonesia dalam 64 tahun mengalami peningkatan yang kecil sekali. Kondisi bangsa dan negara RI makin memprihatinkan ketika krisis moneter berlanjut dengan krisis politik sehingga diupayakan reformasi total yang dipelopori mahasiswa dan masyarakat terdidik. Harapan kita, Reformasi sebagai awal langkah pembaruan mendasar, strategis dan menyeluruh belum menampakkan langkah maju. Namun, kita juga maklum dapat dievaluasi karena gerakan ini baru memasuki pintu gerbang…sementara tujuan masih nampak jauh dicakrawala wawasan dan harapan kita semua. Kiranya, hikmah menatap sejarah suatu bangsa dapat menjadi guru yang mendidik bangsa kita untuk sanggup menapaki tantangan reformasi dengan tetap menegakkan bangsa yang terpercaya; bagaimanapun sejarah nasional kita membuktikan bahwa pancasila dan konstitusi negara kita (UUD1945) menjamin integritas NKRI.

Semoga dengan renungan untuk mengembangkan potensi nasional dalam rangka memasuki abad XXI, millinium III yang ditandai dengan dinamika liberalisasi, sebagai era pascamodern, bahkan supra-modern, manakala kebijaksanaan dan strategi negara tetap konvensional, kita pun tetap menjadi bangsa konsumen dan mengharapkan bantuan negara donor dunia.

Memperhatikan fenomena sosial, budaya, ekonomi dalam pascamodernisasi menjadikan kita semua makin sungguh-sungguh untuk merenungkan apa dan bagaimana kewajiban dan amanat kependidikan yang telah, sedang dan akan kita laksanakan sebagai keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Kewajiban dan amanat itu dipercayakan oleh masyarakat, negara, budaya bahkan moral (peradaban) kepada keluarga, dan guru (pelaksana amanat pemerintah, kultural, dan moral) dalam membina kepribadian manusia generasi muda sesuai cita-cita nasional. Mengingat moral ini menekankan pembinaan kepribadian manusia sebagai super value, (Boedenhimar 1962:143) yakni subyek budaya dan subyek moral (MNS 2000: 188). Sungguh-sungguh sebagai amanat moral personal maupun nasional berdasarkan nilai-nilai bangsa yang berlaku.

Sebagai bangsa dalam masyarakat (internasional) pascamodern namun tetap beradap, sungguh menjadi kewajiban dan amant moral bagi para cendikiawan, lebih-lebih mereka yang mengembankan amanat kependidikan, khususnya SD, SMP, SMA, PTN dan PTS, maka kewajiban untuk makin ikut aktif mulai merenungkan dan memikirkan dunia pendidikan sebagai kelembagaan yang menentukan hari depan rakyat dan negara kita sampai aktif melaksanakannya.

Sebagaimana dimaklumi kelembagaan pengembang sistem pendidikan nasional secara struktural ialah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, melalui berbagai kelembagaan pendidikan dan pendidikan tinggi. Visi dan misi departemen ini secara mendasar adalah integritas pengemban: moral, mental dan ipteks bagi potensi SDM generasi penerus. Tanpa mengecilkan nilai ipteks (30%) kita percaya peranan ipteks, atau ilmu pengetahuan bagi seorang pribadi, sebagaimana juga bagi suatu bangsa. Namun, kita juga tetap percaya bahwa peranan moral dan mental manusia, baik dalam implementasi ipteks maupun dalam pengembangannya adalah nilai kualitatif yang cukup ideal. Jadi, bagaimanapun unggul dan canggihnya ipteks manusia (pribadi, bangsa) tanpa nilai moral dan mental (beradab, sosial, nasional) justru akan menjadi bencana! Artinya, SDM berkualitas adalah integritas nilai-nilai moral, mental, ipteks. Inilah visi-misi pendidikan nasional yang terkandung dalam ungkapan Nation and Character Building.

Berangkat dari latar histori pendidikan yang ada di indonesia tidak terlepas dari dualisme yang terjadi, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama. Pendidikan umum dipegang oleh negara penjajah, yang mana pendidikan ini berorientasi pada perkembangan dunia yang didasarkan pada paradigma kebutuhan industri dan teknologi. Sementara pendidikan agama dipegang oleh kaum ulama yaitu negara terjajah yang orientasi pembelajarannya pada konservatif yang menekankan pada akhlak dan pembentukan karakter islami.

Dari perbedaan ini, lahirlah dualisme kembali ketika indonesia merdeka, dimana pendidikan umum memegang peranan penting di dalam masyarakat baik dari strata masyarakat bawah sampai masyarakat atas. Salah satu kasus yang terjadi di tanah samawa, pendidikan umum mendapat perhatian khusus dalam operasionalnya dibandingkan dengan pendidikan agama dibawah departemen pendidikan agama. Untuk itulah penulis menyadari bahwa pendidikan yang ideal di tanah samawa harus memperhatikan karakteristik wilayah dalam pengembangan kurikulum yang ada di sekolah baik yang sifatnya pendidikan umum maupun pendidikan agama yang bukan hanya penekanan pada proses hasil belajar yang diharapkan pada pebelajar (siswa atau peserta didik) melainkan dampak pengiring yang mampu memecahkan persoalannya ketika dia menghadapi masalah di masyarakat.

Dengan potensi yang ada di tanah samawa dalam sistem pendidikan dan kebudayaan, maka pembelajaran yang digunakan adalah paradigma konstruktivis. Duffy dan Cunningham, dalam Jonassen (2003), mengemukakan beberapa alasan rasional yang melatarbelakangi penggunaan pendekatan konstruktivistik dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai berikut: (1) semua pengetahuan dan hasil belajar merupakan proses konstruksi individu, (2) pengetahuan merupakan konstruksi peristiwa yang dialami dari berbagai sudut pandang atau perspektif, (3) proses belajar harus berlangsung dalam konteks yang relevan, (4) belajar dapat terjadi melalui media pembelajaran, (5) belajar merupakan dialog sosial yang bersifat inheren, (6) siswa yang belajar memiliki ragam latar belakang yang multidimensional, dan (7) memahami pengetahuan yang dipelajari merupakan pencapaian utama manusia.

Gagnon dan Collay dalam Cruickshank dkk (2006) berpendapat bahwa siswa belajar dan membangun pengetahuan manakala dia terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Contoh aktivitas pembelajaran yang menandai siswa melakukan konstruksi pengetahuan terdiri atas beberapa bentuk kegiatan, yaitu: (1) merumuskan pertanyaan secara kolaboratif, (2) menjelaskan fenomena yang dilihat, (3) berpikir kritis tentang isu-isu yang bersifat kompleks, dan (4) mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

Tujuan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran adalah agar siswa memiliki kemampuan dalam menemukan, memahami, dan menggunakan informasi atau pengetahuan yang telah dipelajari. Implementasi pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran perlu memperhatikan beberapa hal komponen penting sebagai berikut: (1) belajar aktif (active learning), (2) siswa terlibat dalam aktivitas pembelajaran yang bersifat otentik dan situasional, (3) aktivitas belajar harus menarik dan menantang, (4) siswa harus mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah dimiliki sebelumnya dalam sebuah proses yang disebut “bridging”, (5) siswa harus mampu merefleksikan pengetahuan yang sedang dipelajari, (6) guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yang dapat membantu siswa dalam melakukan konstruksi pengetahuan, (7) guru harus dapat memberikan bantuan scaffolding yang diperlukan oleh siswa dalam menempuh proses belajar.

Pendekatan konstruktivistik menghendaki peran guru yang berbeda dengan yang selama ini berlangsung. Guru tidak lagi berperan sebagai orang yang menyiapkan diri untuk melakukan presentasi pengetahuan di depan kelas, tetapi merancang dan menciptakan pengalaman-pengalaman belajar (learning experiences) yang dapat membantu siswa memberi makna terhadap konsep-konsep dan ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari. Guru perlu melatih siswa agar mampu mengaitkan, membuat rasional, dan memaknai konsep-konsep yang dipelajari.

Agar kegiatan pembelajaran yang dilandasi oleh pendekatan konstruktivistik dapat memberikan hasil yang optimal, ada beberapa factor yang perlu mendapat perhatian. Newby dkk. (2000) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran yaitu sebagai berikut: (1) berikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan belajar dalam konteks nyata. Belajar terjadi manakala siswa menerapkan pengetahuan yang dipelajari dalam mengatasi suatu permasalahan, (2) ciptakan aktivitas belajar kelompok. Belajar merupakan sebuah proses yang berlangsung melalui interaksi social antara guru dan siswa dalam menggali dan mengaplikasikan kombinasi pengetahuan yang telah mereka miliki, (3) ciptakan model dan arahkan siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan. Guru dan siswa bekerja bersama untuk mencari solusi terhadap suatu permasalahan.

Menurut penulis dalam mendesain sistem pembelajaran dalam menggunakan pembelajaran konstruktivis, yang sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gagnon dan Collay (2001), yakni:

1. Situasi

    Komponen ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran. Selain itu, dalam komponen situasi juga tergambar tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh siswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui.

    2. Pengelompokkan

      Komponen pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran yang berbasis pendekatan konstruktivistik member kesempatan pada siswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat. Pengelompokkan sangat bergantung pada situasi atau pengalaman belajar yang ingin dilalui oleh siswa. Pengelompokkan dapat dilakukan secara acak (random) atau didasarkan pada criteria tertentu (purposive).

      3. Pengaitan

        Komponen pengaitan dilakukan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa dengan pengetahuan yang baru. Bentuk-bentuk pengaitan sangat bervariasi, misalnya melalui pemecahan masalah atau melalui diskusi topic-topik yang spesifik.

        4. Pertanyaan

          Pengajuan pertanyaan merupakan hal penting dalam aktivitas pembelajaran. Pertanyaan akan memunculkan gagasan asli yang merupakan inti dari pendekatan pembelajaran konstruktivistik. Dengan munculnya gagasan-gagasan yang bersifat orisinil, siswa dapat membangun pengetahuan di dalam dirinya.

          5. Eksibisi

            Komponen dalam eksibisi dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik member kesempatan kepada siswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti suatu pengalaman belajar.

            6. Refleksi

              Komponen ini pada dasarnya member kesempatan kepada guru dan siswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kolektif. Refleksi juga member kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki.

              Dari pemaparan di atas, penulis menyadari bahwa pembelajaran dengan paradigma konstruktivis sangatlah cocok diimplimentasikan di tanah samawa yang latar budaya penduduk atau pebelajar (siswa, peserta didik) yang beraneka ragam. Ini merupakan suatu renungan bagi kita semua dalam meningkatkan prestasi belajar pebelajar di samping pebelajar itu memecahkan persoalan di dalam masyarakat sebagai dampak pengiring. Dan ini merupakan tanggung jawab bersama dari steckholder yang ada dalam membangun generasi muda sebagai generasi penerus yang mampu menjawab tantangan perkembangan dunia yang bergerak di bidang industri dan teknologi canggih. Semoga konsep-konsep di atas dapat digunakan oleh para penentu kebijakan di daerah ini, khususnya di tanah samawa pada sektor pendidikan.

              By. Andi haris

              Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang

              Jurusan Teknologi Pembelajaran

              Tentang andiplampang

              Quantum Teaching
              Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

              Tinggalkan komentar